Para Sahabat

Posted by Ndre | Friday, October 30, 2009
Add Post To: | Digg| Technorati| del.icio.us| Stumbleupon| Reddit| BlinkList| Furl| Spurl| Yahoo| Simpy|

Sudah empat hari saya tidak update, bingung mau nulis apa, gak ada ide yang mampir di kepala. Hingga akhirnya saya mendapatkan inspirasi dari kunjungan ke blog-nya si tante yang maniz ini. Kita akan bicara tentang "persahabatan".

Tidak semua yang kita kenal harus menjadi teman, cukup kenal. Dan tidak semua teman yang kita miliki harus jadi sahabat, cukup teman. Yang demikian lebih baik ketimbang kita memaksakan keadaan. Karna mereka lebih berarti untuk sekedar jadi "kenalan" dan lebih bermakna untuk sekedar jadi "teman". Bukan sahabat.

Dulu jaman SD, saya tidak punya sahabat, mereka adalah teman bermain. Jaman SMP, saya punya beberapa sahabat. Tapi kini, mereka lebih pantas disebut sebagai "kenalan" saja. Menyakitkan bukan?? Kenapa kita dulu harus bersahabat, kalo akhirnya kita hanya sekedar kenal saja??

Tak mudah untuk menemukan sahabat sejati. Karena kita bukan saja harus mencampurkan cairan kimia (baca: chemistry) diantara kita, tapi juga membangun ikatan batin yang kuat plus "fondasi pertemanan" yg kokoh dalam bangunan "tembok anti pamrih".

Persahabatan adalah pengabdian, sebuah dedikasi penuh. Lebih dari sekedar loyalitas dan kekompakan. Persahabatan bukanlah "small mobs" hasil dari gap di lingkuangan sekolah. Juga bukan perkumpulan yg mempunyai kesamaan hobi, latar belakang yg sama, dan nasib yg mirip.

Dulu jaman SMA saya memiliki 4 orang sahabat. Kami dalah lima pemuda dengan segala problema di keluarganya masing2, yang tak pernah berjanji untuk menjadi sahabat, tapi selalu berbuat dan bertindak layaknya sahabat sejati. Kami berlima adalah sahabat.

Hingga akhirnya lima itu tak lagi lima. Lima itu berubah menjadi dua. Karna yang 3 telah termakan oleh jaman. Krn yang 3 membiarkan cairan kimia-nya terpolusi oleh perubahan. Krn yg 3 membiarkan tali ikatan batin terpotong oleh waktu. Krn yg 3 membiarkan "fondasi pertemanan" diguncang "gempa keangkuhan", dan membiarkan "tembok anti pamrih" dihantam oleh "buldozer lupa daratan".

Kini tinggal saya dan dia, sang penjual nasi goreng yg berjuang bertahan hidup di perantauan. Dia yang tidak malu dengan profesinya sbg penjual nasi goreng, dia yg tidak malu krn teman2nya bekerja di kantor, dia yg selalu mendoakan saya, dia yg rela wajahnya dipukuli anak2 kelas tiga karna membela saya.

Kita terbiasa melalui malam dengan 2 cangkir kopi dan beberapa bungkus rokok tanpa bercengkrama, menanti pagi yang belum sempurna menghampiri kita berdua. Tak terhitung berapa batang rokok yg telah kita habiskan bersama, tak terhitung lagi berapa kali kita terjerat hangover decade.

Kemarin malam menjelang pagi dia menelpon saya dan saya ingat betul apa yg dia ungkapkan, beban itu spt ada dipundak saya. Lalu besok malamnya dia sms: "saya kok rasanya sudah gak kuat. Berat saya menjalani ini semua. Dagangan saya sepi, buat makan dan bayar kontrakan selalu kurang. Berat. Doakan saya ya. Salam buat anak2".


Untuk Sahabat Sejatiku,
Yang tak lapuk diterpa perubahan dan keangkuhan.